Sejarah Kota Singaraja


SEJARAH KOTA SINGARAJA

Tersebutlah Istana Gelgel pada sekitar tahun 1568 dalam suasana tenang, dimana Raja Sri Aji Dalem Sagening menitahkan putranda Ki Barak Panji Sakti, supaya kembali ketempat tumpah darah Bundanya di Den Bukit (Bali Utara). Ki Barak Panji bersama Bunda Siluh Pasek, setelah memohon diri kehadapan Sri Aji Dalem lalu berangkat menuju Den Bukit diantar oleh empat puluh orang pengiring Baginda yang dipelopori oleh Ki Kadosot. 

Perjalanan mereka memasuki hutan lebat sangat mengerikan, udara yang sangat dingin menggigilkan, menembus celah-celah bukit, mendaki gunung- gunung meninggi, menuruni jurang- jurang curam, dan akhirnya mereka tiba pada suatu tempat yang agak mendatar. Pada tempat itulah mereka melepaskan lelah seraya membuka bungkusan bekal mereka. Selesai mereka makan ketupat, mereka sembahyang, kemudian mereka diperciki air/tirta oleh Si Luh Pasek, demi keselamatan perjalanannya, belakangan tempat itu diberi nama “YEH KETIPAT “. Rombongan Ki Barak Panji telah tiba di Desa Gendis/Panji dengan selamat. 

Tersebutlah Ki Pungakan Gendis, pemimpin Desa yang sekali-kali tiada menghiraukan keluh kesah para penduduknya. Ia memerintah hanya semata- mata untuk memenuhi nafsu buruknya, kesenangannya hanyalah bermain judi, terutama sabungan ayam. Oleh karena demikian sikap pemimpin Desa Gendis itu, maka makin lama makin dibenci rakyatnya, dan pada saat terjadi peperangan, ia dibunuh oleh Ki Barak Panji. 

Desa Gendis diperintah oleh Ki Barak Panji, seorang pemimpin yang gagah berani, adil dan bijaksana. Ki Barak Panji mendengar adanya kapal layar Tionghoa terdampar, kemudian timbullah rasa belas kasihan untuk menolong pemilik kapal tersebut. Baginda bersama-sama dengan Ki Dumpyung dan Ki Kadosot dapat membantu menyelamatkan kapal layar yang terdampar itu di pantai Segara Penimbangan. Setelah bantuannya berhasil, Baginda mendapat hadiah seluruh isi kapal tersebut berupa barang-barang tembikar seperti piring, mangkok, dan uang kepeng yang jumlahnya sangat besar.

Kepemimpinan Ki Barak Panji makin lama makin terkenal, beliau selalu memperhatikan keadaan rakyatnya, mengadakan pembangunan di segala bidang baik fisik maupun spiritual. Oleh karena demikian maka sekalian penduduk Desa Gendis dan sekitarnya, secara bulat mendaulat Baginda supaya menjadi Raja, yang kemudian dinobatkan dengan gelar “KI GUSTI NGURAH PANJI SAKTI”

Untuk mencari tempat yang agak datar, maka Kota Gendis serta Kahyangan Pura Bale Agung-nya di pindahkan ke Utara Desa Panji. Pada tempat yang baru inilah Baginda mendirikan istana lengkap dengan Kahyangan Pura Bale Agung-nya. Guna memenuhi kepentingan masyarakat desanya untuk menghantar persembahyangan di dalam pura maupun upacara di luar pura, serta untuk hiburan- hiburan lainnya, maka Baginda membuat seperangkat gamelan gong yang masing-masing diberinama sebagai berikut :

  • Dua buah gongnya diberi nama Bentar Kedaton.
  • Sebuah bendenya diberi nama Ki Gagak Ora.
  • Sebuah kenuknya bernama Ki Tudung Musuh.
  • Teropong bernama Glagah Ketunon.
  • Gendangnya bernama Gelap Kesanga.
  • Keseluruhannya bernama “ Juruh Satukad “.

Karena perbawa dan keunggulan Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, maka Kyai Alit Mandala, Lurah Kawasan Bondalem tunduk kepada Baginda. Kemudian atas kebijaksanaannya maka Kyai Alit Mandala diangkat kembali menjadi Lurah yang memerintah dikawasan Bondalem, Buleleng Bagian Timur.

Pada sekitar tahun 1584 Masehi, untuk mencari tempat yang lebih strategis maka Kota Panji dipindahkan kesebelah Utara Desa Sangket. Pada tempat yang baru inilah Baginda selalu bersukaria bersama rakyatnya sambil membangun dan kemudian tempat yang baru ini diberi nama “SUKASADA” yang artinya selalu bersukaria. Selanjutnya diceritakan berkat keunggulan Ki Gusti Panji Sakti, maka Kyai Sasangka Adri, Lurah kawasan Tebu Salah (Buleleng Barat) tunduk kepada Baginda. Lalu atas kebijaksanaan beliau maka Kyai Sasangka Adri diangkat kembali menjadi Lurah di kawasan Bali Utara Bagian Barat.

Untuk lebih memperkuat dalam mempertahankan daerahnya, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti segera membentuk Pasukan yang disebut “Truna Goak“ di Desa Panji. Pasukan ini dibentuk dengan jalan memperpolitik seni permainan burung gagak, yang dalam Bahasa Bali disebut “Magoak-goakan“. Dari permainan ini akhirnya terbentuklah pasukan Truna Goak yang berjumlah 2000 orang , yang terdiri dari para pemuda perwira berbadan tegap, tangkas serta memiliki moral yang tinggi dibawah pimpinan perang yang bernama Ki Gusti Tamblang Sampun dan diwakili oleh Ki Gusti Made Batan.

Ki Gusti Ngurah Panji Sakti beserta putra-putra Baginda dan perwira lainnya, memimpin pasukan Truna Goak yang semuanya siap bertempur berangkat menuju daerah Blambangan. Dalam pertempuran ini Raja Blambangan gugur di medan perang, dengan demikian Kerajaan Blambangan dengan seluruh penduduknya tunduk pada Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Berita kemenangan ini segera didengar oleh Raja Mataram Sri Dalem Solo dan kemudian beliau menghadiahkan seekor gajah dengan 3 orang penggembalanya kepada Ki Gusti Ngurah Panji Sakti. Menundukkan Kerajaan Blambangan harus ditebus dengan kehilangan seorang putra Baginda bernama Ki Gusti Ngurah Panji Nyoman, hal mana mengakibatkan Baginda Raja selalu nampak bermuram durja. Hanya berkat nasehat-nasehat Pandita Purohito, akhirnya kesedihan Baginda dapat terlupakan dan kemudian terkandung maksud untuk membangun istana yang baru disebelah utara Sukasada.

Pada sekitar tahun Candrasangkala “ Raja Manon Buta Tunggal “ atau Candrasangkala 6251 atau sama dengan tahun çaka 1526 atau tahun 1604 Masehi, Ki Gusti Ngurah Panji Sakti menitahkan rakyatnya membabat tanah untuk mendirikan sebuah istana di atas padang rumput alang- alang yakni ladang tempat penggembala ternak, dimana ditemukan orang-orang menanam Buleleng. Pada ladang Buleleng itu baginda melihat beberapa buah pondok- pondok yang berjejer memanjang. Disanalah beliau mendirikan Istana yang baru, yang menurut perhitungan hari sangat baik pada waktu itu, jatuh pada tanggal “ 30 Maret 1604 “.

Selanjutnya Istana Raja yang baru dibangun itu disebut “SINGARAJA” karena mengingat bahwa keperwiraan Raja Ki Gusti Ngurah Panji Sakti tak ubahnya seperti Singa.

Demikianlah hari lahirnya Kota Singaraja pada tanggal 30 Maret 1604 yang bersumber pada sejarah Ki Gusti Ngurah Panji Sakti, sedangkan nama Buleleng adalah nama asli jagung gambal atau jagung gambah yang banyak ditanam oleh penduduk pada waktu itu.