Dengan tangan terampil dan semangat melestarikan budaya, pemuda asal Desa Alasangker, Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng, Bali, berhasil menciptakan gamelan rindik dari bambu yang kini menembus pasar ekspor. Alat musik tradisional khas Bali ini dirakit secara manual dengan proses penuh ketelitian, dan sentuhan teknologi menjadikan setiap set gamelan memiliki nilai seni dan karakter yang unik serta berkualitas.
I Gede Edi Budiana, pemuda kelahiran tahun 1995 ini yang akrab disapa Edibud ini juga memanfaatkan digitaliasi era sekarang lewat pemanfaatan media sosial seperti Instagram dan Tiktok dengan nama “dE Percussion” sebagai sarana promosi dan branding produk gamelan rindik buatannya yang mulai dikenal hingga ke mancanegara. Permintaan pun datang dari berbagai negara yang tertarik pada kekayaan budaya Indonesia, sekaligus membuka peluang ekonomi kreatif berbasis kearifan lokal di desa.
“Dahulu tetua membuat rindik dengan rasa dan feeling untuk sounding, sekarang saya padukan dengan sentuhan teknologi melalui aplikasi untuk test sounding tiap bilah bambu dalam menentukan nada masing-masing berbasis selendro kalau, kita konversi atau samakan dengan tangga nada diatonis, itu sangat membantu juga, karena pendengaran kita kadang tidak sesensitif aplikasi,”ungkapnya, ketika ditemui di studionya, Minggu,(13/07).
Edibud yang sejak kecil senang mendengarkan alunan gamelan di radio ataupun saat upacara yadnya menjadikan motivasi kuat untuk menekuni seni tabuh ini, apalagi lingkungan mendukung ketika merantau di Kabupaten Gianyar sembari kuliah di salah satu kampus yang mendalami ilmu komputer ini, banyak belajar dengan tetua disana, sehingga niat membuat rindik semakin tinggi.”Awal mula terpacu membuat rindik, mulai dari lingkungan sekitar, memang senang juga mendengarnya. Lalu berawal dengan bambu bekas penjor membuat rindik, malah temen kosnya yang suka rindik buatannya diminta untuk dijual, akhirnya ia lepas sebesar Rp. 300.000,-. Itu penjualan rindik buatan saya pertama kali tahun 2016 lalu,”ungkapnya.
Seiring berjalan waktu, setelah tamat kuliah tahun 2018, Edibud pulang kampung dengan membuka studio sejenis workshop “dE Percussion”. Di rumahnya sendiri yang berlokasi selatan Kampus FOK Undiksha Jinengdalem ini, pihaknya mengembangkan usaha dengan membuat produk gamelan lainnya seperti tingklik, angklung bambu, suling, kulkul/tektekan, kincir angin bernada dan lainnya yang berbahan dasar bambu.
Bahan bambu yang digunakan tidak sembarang bambu, bambu Tabah yang digunakan hanya tumbuh dipegunungan/perbukitan Bali Utara dan bambu Hitam yang didatangkan dari Jawa. Selain itu hanya berbekal pisau belakas, pengutik, dan gerinda serta mesin bor, Edibud telah banyak menghasilkan rindik. Untuk mengetes nada rindik agar cocok dengan tangga nada, dia menggunakan aplikasi Tuner yang ia download diplatform digital handphonenya.
”Bersyukur sekali di Buleleng tumbuh bambu Tabah yang sangat bagus digunakan untuk bahan rindik selain bambu Hitam. Bambunya direndam selama 2 bulan dengan dengan cairan khusus berupa insektisida dan EM4 untuk mengangkat zat gula bambu, sehingga kualitas bambu sangat bagus, tahan rayap dan tahan lama, asal nanti rindiknya tidak dijemur terus, tidak kena air hujan sehingga awet,”jelasnya
Selain itu pemasarannya juga melalui media sosial Tiktok dan Instagram “dE Percussion”. Banyak tamu-tamu yang memesan langsung dan dikirim ke luar negeri seperti Australia, Jepang, New York dan Singapura. Bahkan luar Buleleng juga banyak yang memesan seperti Karangasem, Tabanan, Klungkung dan Badung, yang paling banyak dari Denpasar. Selain itu pesanan datang dari desa lainnya di Buleleng.
Untuk kisaran harga rindik, Edibud menjual dikisaran harga Rp. 1 juta- Rp. 8 juta tergantung jenis rindik, ukiran dan ukura, selain produk-produk lainnya juga kami jual sesuai pesanan. Pihaknya juga memberdayakan rekan sekitar tempat tinggalnya untuk membantu membuat pelawah dan ukirannya.”Sekarang ini saja banyak pesanan selain kami akan menyetok juga, karena proses pembuatannya agak lama agar produk yang kami buat berkualitas,”ujarnya.
Pihaknya berharap, pemuda-pemuda lainnya menyenangi seni gamelan ini, karena ini merupakan warisan budaya Bali yang patut kita lestarikan.”Kalau saya lihat banyak potensi muda-mudi yang senang akan gamelan rindik ini, namun karena faktor ekonomi, cenderung untuk merantau keluar, sehingga seni gamelan rindik ini sementara ditinggalkan, bukan tidak ada peminat ya,”tutupnya.(wd)