Desa Lokapaksa merupakan desa yang berada di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali dengan luas wilayah sekitar 2.884 Hektar dan tercatat hampir seperempat lahannya atau sekitar 858,991 hektar saat ini berstatus sebagai lahan kering. Namun siapa sangka lahan kering di desa yang terdiri dari 9 Banjar Dinas ini bisa dijadikan ladang pertanian yang bisa hasilkan omset puluhan juta sebulan.
Adalah I Gusti Bagus Sumertana seorang pria berusia 61 tahun yang kini telah sukses menyulap 1 Hektar lahan kering miliknya untuk bertani kelor dengan omset puluhan juta per bulan. Ia pun menceritakan awal mula dirinya tertarik kembali pulang untuk menanam kelor dan mengolahnya menjadi beberapa produk kesehatan herbal, Sabtu, (9/9) dikediamannya.
Kala itu sekitar tahun 1998 dimana banyak keluarga meninggal dunia karena tidak mampu berobat apalagi saat itu untuk biaya berobat juga mahal. Sehingga muncul rasa penasaran yang besar untuk mempelajari pengetahuan tentang obat-obatan herbal, sebab dirinya menilai obat-obatan kimia harganya cukup mahal.
Akhirnya pria yang merupakan warga asli dari Banjar Bukit Sakti ini antusias untuk mengikuti berbagai seminar dan sekitar tahun 2010 akhirnya mengenal bagaimana manfaat dari tanaman kelor.
"Tapi saat itu saya tidak langsung menanam, dan sekitar tahun 2013 saya justru memilih untuk bekerja terlebih dahulu di Desa Pelaga, Badung untuk mendapatkan pengetahuan lebih di dunia agribisnis. Sampai akhirnya banyak ketemu orang, lalu sekitar 2018 saya memutuskan untuk berhenti bekerja saat itu posisi saya sebagai Agro Manager," tutur Bagus sambil menunjuk foto saat dirinya masih bekerja di Agro Wisata Pelaga.
Dengan pengalaman yang dimiliki usai memutuskan berhenti dari pekerjaannya, Ia pun menyadari jika lahan yang ada di kampung halamannya ternyata bagus untuk ditanami kelor. Akhirnya bermodalkan uang sekitar Rp 1 jutaan, pria yang pernah juga menjadi akuntan selama 5 tahun ini lalu membeli sebanyak dua kilogram biji kelor dengan harga 600 ribu dan sisanya dibelikan pupuk organik yang akan dipakai merawat pohon kelor agar bisa tetap tumbuh.
Setelah mendapatkan biji kelor berkualitas. Proses pun diawali dengan penyemaian biji selama dua Minggu hingga muncul bibit kelor dan delapan Minggu kemudian bibit kelor sudah bisa ditanam sambil dipangkas sedikit untuk memperkuat batang. Lalu untuk proses penanaman siapkan lubang dengan ukuran 30x30 centimeter dan ditengah di perdalam lagi untuk membuat akar tunggang semakin kokoh.
Usai lubang siap supaya pertumbuhan pohon kelor lebih bagus maka sebaiknya disiram sedikit menggunakan air laut karena mengandung mineral. Kemudian sesudah disiram air laut, kembali di kocor memakai bio-urine dan terakhir diisi adukan tanah yang sudah dicampur dengan Trichoderma untuk mempercepat pertumbuhan pohon kelor.
"Satu lagi kalau mau tambah bagus saran saya kita tanam di bulan Desember sehingga nantinya bulan Maret bisa lebih cepat panen. Sebab kan musim ini hujan turun juga. Nah kalau mau panen berikutnya maksimal jadi harus dipangkas dan sisakan 30 sampai 40 centimeter panjang pohonnya,"
"Itu panen kedua dan seterusnya waktunya hanya berselang 35 hari jadi setahun bisa 10 kali panen. Kalau hama saya kira tidak begitu sulit menangani paling hamanya ulat pemakan daun dan rayap. Kalau ulat kita biarkan saja toh nanti jadi kepompong tapi kalau mengusir rayap kita punya caranya dan tanpa merusak atau membunuh rayapnya," jelas pria yang pernah bekerja di perusahaan ekspor dan impor ini.
Kemudian untuk hasil rata-rata panen sebulan dan harga jual kelor lanjut bagus sambil sesekali menyeruput secangkir kopi jahe berbahan dasar kelor yang diproduksi sendiri dituturkan sekali panen rata-rata mencapai 500 Kilogram dengan kondisi daun masih basah dan sudah dipisahkan dari tangkainya harga per kilo mencapai Rp 6 ribuan. Sedangkan untuk daun kelor kering harga per kilo mencapai Rp 75 ribuan, harga tersebut meningkat disebabkan karena untuk 1 kilogram daun kering tentu memerlukan 5 sampai 6 Kilogram daun basah.
Meski terbilang cukup menjanjikan, namun hasil panennya kini kembali diolah menjadi tiga produk kemasan berkhasiat baik untuk kesehatan dan kecantikan dengan harga sesuai netto. Ketiga produk itu yakni Serbu Kelor Original, Kopi Jahe Kelor, Teh Hijau Kelor dengan merek AJI MORINGA.
Alhasil dari ketiga produk ini dalam sebulan omset penjualan mencapai Rp 7,5 sampai Rp 10 Jutaan. Bahkan dirinya menyebut penjualan saat pandemi sampai sekarang terus mengalami peningkatan khususnya untuk produk Kopi Jahe Kelor dengan peminat kebanyakan dari Jakarta.
"Selama pandemi tidak seberapa dan kita terus bisa panen dan tidak masalah karena konsumen lebih tertarik atau ramai membeli pada saat pandemi. Permintaan meningkat bisa sebulan dapat 7,5 juta sampai 10 juta untuk tiga produk ini. Yang paling diminati kopi di Jakarta," sebut Bagus yang juga Ketua Kelompok Tani Tri Hita Karana ini sambil lanjut bercerita.
Meski demikian pihaknya pun mengaku masih memiliki sejumlah kendala dalam proses pengembangan produknya yang sudah segera akan terdaftar Haki. Ia pun menyebutkan salah satu kendalanya yakni dipermodalan dan bahan baku yang minim lantaran masih jarang khususnya di Kabupaten Buleleng yang menanam pohon kelor. Meski dirinya memiliki kelompok tani yang menanam kelor didesanya namun semua itu masih belum cukup. Sehingga jika kekurangan bahan, Ia harus mencari ke luar Buleleng agar bisa memenuhi permintaan akan produknya.
"Kalau soal persaingan harga itu bukan kendala bagi saya, apalagi ada yang menjadi pembeda dari produk saya dengan produk lainnya yang dijual oleh pesaing. Kendalanya yang paling terasa tentu di bahan baku untuk bisa memenuhi permintaan pasar. Jadi harapan kita nanti tanah-tanah kering di Buleleng bisa ditanami kelor apalagi untuk manfaatnya banyak sekali," pungkas pria yang memiliki cita-cita membuat agrowisata kelor yang berbasis budidaya kelor ini.