Keradaan Desa Bali Aga di Kabupaten Buleleng menjadi yang terbanyak di Bali, kendatipun demikian tidak banyak juga masyarakat Buleleng yang mengetahui bagaimana kehidupan keseharian, tradisi dan budaya masyarakat Bali Aga. Mencoba mengenalkan hal itu, Dinas Kominfosanti Buleleng dalam program podcast B-Kom (Bincang Komunikasi) mengundang narasumber luar biasa yang juga merupakan dosen di Sekolah Tinggi Agama Hindu (STAH) Mpu Kuturan Singaraja, Selasa, (22/10).
Dr. I Putu Mardika, S.Pd.,M.Si yang merupakan dosen Antropologi di STAH Mpu Kuturan Singaraja mengaku telah melakukan riset di salah satu Desa Bali Aga di Buleleng. Pengalaman mengenai pola kehidupan, seni, tradisi dan budaya akan dijelaskan berdasarkan hasil risetnya dan beberapa ilmuan yang pernah melakukan riset di Desa Bali Aga lainnya.
Putu Mardika menerangkan, di Buleleng terdapat 7 Desa Bali Aga, yakni Desa Sidetapa, Desa Cempaga, Desa Tigawasa, Desa Desa Pedawa, dan Desa Banyuseri yang ada di Kecamatan Banjar, kemudian Desa Sembiran dan Desa Julah di Kecamatan Tejakula. Secara umum dijelaskan, masyarakat Bali Aga itu pada dasarnya sangat kental akan adat, tradisi dan budaya serta sangat disiplin menjalankan aturan hukum secara niskala. Karakteristik Bali Aga dalam hal keagamaan tidak melakukan konsultasi kepada Sulinggih, melainkan kepada “Balian Desa” ketika akan melaksanakan suatu upacara. “Mereka, (masyarakat Bali Aga,red), dalam upacara Pitra Yadnya atau kematian, tidak mengkremasi atau membakar layon melainkan dikubur. Dalam tata adat pun mereka mengenal strata sosial berdasarkan senioritas. Memang secara mendasar tata ritual berbeda dengan masyarakat Hindu pada umumnya,” terang Putu Mardika.
Berdasarkan riset yang pernah dilakukan di Desa Julah, Putu Mardika mengaku sangat kagum akan keberagaman Bali Aga di Buleleng yang membaur damai dengan masyarakat umum, baik local Buleleng maupun tamu mancanegara. Disebutkan masyarakat Desa Julah sangat setia menjalankan tradisi leluhur dalam kesehariannya, namun tidak menutup diri terhadap perkembangan era globalisasi yang serba digital. Dahulu masyarakat Julah hanya bekerja di dalam wilayah desa saja, sekarang sudah menyebar ke luar desa, luar kabupaten bahkan banyak yang bekerja di luar negeri. Namun demikian, Putu Mardika menambahkan pada saatnya nanti para pekerja itu akan kembali lagi ke desa tanpa meninggalkan sedikitpun tradisi dan budayanya. “Julah ini sangat kental, biasanya kita temukan canang sari kan cantik tampilannya dengan berbagai warna bunga yang ditata. Bali Aga Desa Julah berbeda, canangsari mereka berisikan buah pinang, sirih, dan daun intaran sebagai sarana sembahyang. Jika habis sembahyang pada umumnya kita sematkan bunga di telinga, kalau mereka menggunakan daun intaran,” terang Putu Mardika.
Hubungan erat masyarakat Bali Aga terhadap sesama, lingkungan dan Tuhan sudah menjadi pakem atau komitmen turun temurun dari leluhur dahulu kala, sehingga bilamana melanggar atau menyimpang tanpa sengaja akan mendapat konsekuensi dari adat. Putu Mardika menilai, tradisi dan budaya Bali Aga adalah bentuk keberagaman hidup bersama bukan diseragamkan untuk dapat hidup bersama. Terkait itu, pihaknya berharap seluruh stakeholder, baik itu masyarakat Bali Aga itu sendiri bersama pemerintah wajib melestarikan tradisi dan budaya kepada generasi muda agar ke depannya tidak punah seperti tradisi-tradisi lain yang secara perlahan mulai hilang di gempur perkembangan jaman. “Banyak hal yang menjadi warisan leluhur kita sudah mulai punah oleh generasi muda. Contoh paling kecil itu adalah kata, banyak istilah-istilah warisan orang tua kita dulu yang sudah dilupakan, bahkan memang tidak diketahui generasi muda. Seperti kosa kata Gauk, Kiskis dan Lampit. Kata-kata akan punah jika tidak terus digunakan,” ujarnya. (Agst)