Nyepi dan Tumpek Wariga Bersamaan, Refleksi Keharmonisan untuk Kesejahteraan Kehidupan

Admin bulelengkab | 28 Maret 2025 | 168 kali

Konteks Nyepi tahun 2025 ini, pesan nyata adalah bahwa refleksi diri dengan melihat kembali fikiran, perkataan dan perbuatan kita sebagai sthana Tri Murti dalam diri, untuk memperoleh kesejahteraan Hidup (wariga) dan ujungan adalah kemenangan Dharma sesungguhnya ( menyambut 25 hari menuju Galungan ). Lalu apakah ujung tombak dari kemenangan itu? Tidak ada lain adalah keseimbangan dan keharmonisan. Dengan harmonislah kemenangan diperoleh dan akan Sejahtera. Dengan kemenangan pula kesempurnaan rohani akan tergapai dan moksa (bebas). Jadi hari Suci Nyepi (sunya, kosong) untuk sejahtera (wariga) merupakan spirit Nyepi di tahun 2025


“Hari suci yang bersamaan ini maka bisa kita ambil landasan pemikiran yaitu Tumpek Wariga sebagai pemujaan untuk kebaikan tumbuhan untuk menyambut hari suci Galungan dan Nyepi sebagai pemujaan tiga kekuatan alam untuk melakukan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Konteks Tri Murti ini adalah refleksi, reinkarnasi dan penguatan kesadaran kesemestaan hidup,”ucap I Kadek Satria selaku Penyuluh Agama Hindu Kantor Kementerian Agama Kabupaten Buleleng,Kamis,(27/3).


Menurut Kadek Satria ada beberapa hari Suci Hindu yang berlangsung bersamaan, hal ini karena perhituangan hari suci didasarkan oleh perhitungan satu tahun wuku yang lamanya 210 hari dan perhitungan sasih yang datangnya setahun sekali (tahun kabisat 366 hari dan tahun biasa 365 hari). Tentu saja dalam kurun waktu tertentu, hari suci dengan kedua perhitungan dewasa ini akan bertemu (subadewasya). Dan pertemuannyapun bisa disebut langka.


Dikatakan bahwa setiap hari suci memiliki makna filosofis tersendiri, ada yang memang untuk alam, untuk kita sebagai manusia dan bisa saja untuk keduanya. Jadi, memadukan kebermaknaan itulah bisa jadi merupakan pesan untuk kita, dalam melakukannya. Nyepi tahun baru saka 1947 jatuh pada tanggal 29 Maret 2025 yang bertepatan dengan perhitungan tahun wuku, saniscara kliwon wuku Wariga. Pada saniscara kliwon wuku Wariga ini adalah hari besar yang digunakan untuk memuja Dewa Sangkara, yaitu manifestasi Tuhan sebagai penganugerah kebaikan terhadap sarwaning tumuwuh (tumbuh-tumbuhan).


Nyepi sebagai perayaan tahun baru saka, bukan sekedar pelaksanaan Tahun Baru, tetapi juga sebagai awal yang maha hebat dari pemikiran leluhur kita untuk memaknai anugerah dengan cara bersyukur tanpa batas. Ada hal unik yang bisa kita lihat pada Nyepi tahun ini, Sunya dan kemurnian dalam Nyepi, ditambah dengan pemuliaan akan tumbuh-tumbuhan berlangsung dalam sehari, ini artinya keharmonisan itu sangat diwujudnyatakan oleh hari suci. Hal ini mesti diikuti oleh pola laku kita sebagai umat agar melakukan dan juga mewujudnyatakan hari suci ini kedalam aksi nyata, ujungnya adalah untuk keharmonisan itu setidaknya terencana, terlakukan dan hasilnya bisa kita nikmati.


Lebih lanjut ketika Nyepi, amati geni, juga tidak dibenarkan mengambil semua kerja, seperti misalnya menyalakan api, disetiap tempat tinggalnya, seharusnya yang dilakukan adalah mempelajari tattwa cerita atau ilmu pengetahuan suci, melakukan semadhi dan melakukan yoga semadi. Dalam petikan secara bebas lontar diatas, maka ada pesan yang sangat dalam yang bisa kita petik, bahwa pada saat Nyepi adalah pemujaan kepada Sang Tiga Wisesa atau Sang Hyang Tri Murti. Sebagai manifestasi beliau sebagai penguasa tiga alam untuk keselamatan akan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan segala yang ada. 

Dengan berpedoman pada kedua sumber tentang hari suci yang bersamaan ini maka bisa kita ambil landasan pemikiran yaitu tumpek wariga sebagai pemujaan untuk kebaikan tumbuhan untuk menyambut hari suci Galungan dan Nyepi sebagai pemujaan tiga kekuatan alam untuk melakukan penciptaan, pemeliharaan dan peleburan. Kontek Tri Murti ini adalah refleksi, reinkarnasi dan penguatan kesadaran kesemestaan hidup. Bahwa yang terlahirkan akan terpelihara hidupnya dan akan Kembali setelah selesai kewajibannya. Diawali dengan pemelastian, dimana Ida Bhatara bersuci ke sumber air, dalam hal ini sumber dari segala sumber air adalah laut, maka bersuci ke laut menjadi pedoman. Bahwa boleh melakukan pemelastian ke sumber air terdekat, itu adalah kesepakatan yang ada di masing-masing desa adat, dan tidak ada unsur kesalahan karena sumber air yang ada dilaut berproses menuju gunung dan kembali lagi ke laut sebagaimana yang kita pahami dalam siklus air atau siklus hidrologi. 



“Bukan tidak ada alasan kenapa kemudian kita mesti memaknai dalam bertemunya Hari Suci Nyepi dengan Tumpek Wariga. Sebab dalam kaidah hidup tidak ada istilah kebetulan, namun semua seolah sudah tergariskan sebagai hukum tetap (rta) yang tanpa bisa ditentang oleh apapun dan siapapun. Segala sesuatu dipertemukan oleh waktu dan berpesan luas agar kita lebih meyakini dan mengaplikasikan ajaran agama dengan baik. Melakukan dengan cara beritual sebagai wahana ketulusan dan keikhlasan, dan aplikasi nyatanya adalah bagaimana kita merawat, memelihara, mengembangkan untuk hasil yang lebih baik,”pungkasnya.(wd).