Lelaki paruh baya itu baru saja tiba dari Baturiti untuk suatu keperluan, katanya, sebelum menceritakan perjuangannya dalam bertani paprika, Kamis (22/12) sore. Petani yang akrab dipanggil Pak Man itu duduk dan menyalakan sebatang rokok sebelum menjawab pertanyaan basa-basi dari tamu yang hendak mewawancarainya.
Ya, lelaki itu, I Nyoman Mara, nama lengkapnya. Petani yang lahir dan besar di Desa Pancasari, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, itu dilihat dari rambutnya yang mulai memutih, menandakan bahwa umurnya memang tak lagi muda. Benar, pria yang sudah menjadi petani sejak umur 18 tahun itu kini genap berusia 53 tahun. Artinya, sudah 35 tahun dirinya menjadi petani. “Saya lahir dari keluarga petani. Kakek, nenek, dan orang tua saya semua petani,” ujarnya, memulai bercerita.
“Saya sebelas bersaudara. Kalau saya kuliah waktu itu, adik-adik saya tidak bisa sekolah. Jadi, saya stop di SMA,” katanya, sesaat setelah ia mengisap rokok dan mengembuskannya. Meski Pak Man tidak melanjutkan pendidikan, setelah lulus SMA, ia mengaku sempat melamar menjadi guru. “Tapi persaingannya banyak. Dari 600 pelamar, hanya 10 yang dibutuhkan,” imbuhnya, sambil menggelengkan kepala, heran. Sejak mengetahui kenyataan tersebut, Pak Man mulai memutuskan untuk menjadi petani, oh maaf, lebih tepatnya: buruh tani.
Namun, seiring berjalannya waktu, Pak Man memberanikan diri untuk menjadi petani mandiri. Bersama seorang teman yang membantunya, ia mulai menggarap lahannya sendiri dengan tanaman hortikultura cabang ilmu pertanian yang berurusan dengan tanaman kebun, seperti kubis, cabai, dan kentang. Tidak sampai di situ, setelah melalui fase jatuh-bangun-untung-rugi menjadi petani, melihat perkembangan strawberry di Desa Pancasari begitu pesat, ia mencoba ikut menanamnya.
“Tapi, pada tahun 2001 tahun ke-3 saya menanam strawberry saya bertemu pengusaha paprika dari Belanda. Dan sejak saat itulah, saya mulai belajar seluk-beluk mengenai paprika,” jelasnya.
Nyoman Mara bisa dibilang pelopor pertanian paprika di Desa Pancasari, bahkan di Bali. Ia menanam paprika sebelum orang-orang mengenal apa itu paprika. Keputusannya menanam paprika adalah titik baliknya menjadi petani. Sekarang, ia mengenal paprika sama baiknya dengan mengenal dirinya sendiri.
Mulai Menanam Paprika
Seperti yang sudah disinggung di atas, Nyoman Mara mulai tertarik menanam tanaman dengan nama latin capsicum annuum, tumbuhan penghasil buah yang berasa manis dan sedikit pedas dari suku terong-terongan atau Solanaceae itu sejak dirinya bertemu dengan pengusaha paprika dari Belanda.
Pak Man mengaku, saat itu, orang Belanda tersebut menawarkan kemitraan dengannya. Maka ia segera membangun, meminjam bahasanya “rumah lindung” untuk menanam paprika (bell pepper). “Jadi saat itu saya dididik, diajari, bagaimana SOP-nya. Kemudian saya mengurangi menanam strawberry dan fokus mengembangkan pertanian paprika sampai sekarang---meski tetap menanam beberapa komoditi lain,” terangnya.
Menurut Pak Man, menanam paprika itu tidak gambang. Butuh ketekunan dan usaha yang lebih. Sebab, perawatan tanaman yang berasal dari Meksiko ini tidak sama dengan tanaman hortikultura lain seperti kubis, kentang, maupun cabai, yang ditanam di lahan terbuka. Menanam paprika juga harus memperhatikan suhu ruangan, sirkulasi udara, dan racikan pupuknya tidak sembarangan. “Paprika memang bisa ditanam di lahan terbuka, tapi hasilnya tidak maksimal,” ujarnya.
Benar, tanaman paprika umumnya dibudidayakan di bawah naungan atau rumah lindung (protected cultivation). Beberapa keuntungan budidaya tanaman di bawah naungan ialah hasil panen lebih tinggi, kualitas produk lebih baik, masa panen lebih lama, serta pengurangan penggunaan pupuk dan pestisida (Baron’s Brae, 1991), dan produksi tanaman secara lebih terencana (Baudoin dan Von Zabeltitz, 2002).
Sementara itu, mengenai bibit paprika, Pak Man mendatangkannya langsung dari Belanda. Dalam hal ini, menurutnya, tak masalah impor bibit, yang penting tak impor buahnya langsung. Sebab, impor bibit merupakan sebagian kecil dari proses pertanian. Meski demikian, suatu saat ia berharap dapat menghasilkan bibit sendiri.
“Tidak apa-apa impor bibit, yang penting produksinya tetap di sini. Jadi, tetap bisa melibatkan banyak petani (tenaga kerja). Berbeda kalau langsung impor buahnya, sampai sini kan tinggal konsumsi,” katanya menggebu-gebu.
Paprika sendiri memiliki siklus hidup atau masa produktif rata-rata satu tahun. Pak Man menjelaskan, dari sejak penanaman biji paprika, untuk menjadi kecambah, membutuhkan waktu sampai satu minggu. Setelah bibit paprika berumur 30 hari baru bisa dipindahkan ke lahan atau polybag.
“Paprika yang sudah dipindahkan dari tempat pembibitan ke lahan, itu kami hitung umurnya dari nol lagi. Nah, setelah umur 90 hari dari masa tanam itu, paprika baru bisa dipanen. Sedangkan masa panen sampai tujuh bulan,” jelasnya.
Setelah tanaman paprika berumur lebih dari setahun, maka saatnya menggantinya dengan pohon yang baru. Pohon yang sudah dicabut, akan dimasukkan ke dalam lubang galian dan diolah menjadi pupuk organik. Sedangkan polybag digunakan dua kali tanam.
Di tahun-tahun awal menanam, Pak Man merasa tak kesulitan untuk memasarkannya meski harus melalui banyak pihak. Sebab, selain banyaknya hotel dan restoran di Bali yang membutuhkannya, pada saat itu, tak banyak petani yang menanamnya tak banyak pesaing, katanya.
Ya, pada awalnya ia memang tidak bisa menjual hasil paprikanya ke hotel atau restoran secara langsung. Selain karena masih masa percobaan dan kuranganya pengetahuan akan kriteria seperti apa yang diminta, ia juga masih kekurangan jaringan. Oleh sebab itu ia menjual paprikannya kepada para pengepul.
Namun, Pak Man tidak mau berdiam diri. Untuk dapat menembus pasar seperti hotel, restoran, dan supermarket secara langsung, ia mengaku banyak mengikuti pelatihan yang diadakan oleh pemerintah, salah satunya Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng.
Ia melakukan itu supaya bisa menjadi petani yang memiliki pengetahuan akan standar operasional atau prosedur pertanian yang benar sesuai dengan Good Agricultural Practices (GAP)---panduan cara budidaya yang baik, benar, ramah lingkungan dan aman dikonsumsi.
“Jadi saya ingin bertani dengan benar; mulai memikirkan kualitas produk dari tampilan visual sampai kandungan di dalamnya. Walaupun kami belum bisa sepenuhnya bergerak di bidang pertanian organik yang bebas dari pestisida atau pupuk kimia, setidaknya produk kami masih masuk dalam kategori sangat layak konsumsi,” ujarnya.
Dari Konvensional ke Otomatisasi
Di awal tahun 2023, sejak resmi menjadi P4S, Sayram Garden mulai menikmati program pertanian digital dengan teknologi Screen House atau Smart Green House (SGH) yang diinisiasi Direktorat Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (Ditjen PSP) Kementerian Pertanian (Kementan).
Menurut Analis PSP Dinas Pertanian Kabupaten Buleleng, Ida Putu Sandiasa, dalam keterangan pers, Kamis (9/3/2023), menyampaikan, SGH merupakan program terobosan untuk membangun pertanian modern. SGH juga diproyeksikan menjadi pemikat atau meningkatkan minat kaum milenial di sektor pertanian, khususnya di bidang hortikultura.
Sedangkan Pak Man menjelaskan, SGH ini menerapkan teknologi digital untuk pengembangan pertanian. “Berkat teknologi ini, petani diharapkan jauh dari ancaman gagal panen akibat cuaca yang berubah-ubah. Selain itu, penggunaan pupuk dan air akan semakin terukur,” ujarnya.
SGH membawa pertanian menuju smart farming. Artinya, petani tidak perlu lagi ke lahan pertanian untuk mengontrol tanaman. Kendali perkembangan tanaman dilakukan melalui smartphone berbasis Android dan laptop yang terhubung internet.
Istilah smart farming sendiri, dilansir dari laman Fakultas Pertanian, UMSU, merupakan suatu konsep pertanian yang menggunakan teknologi digital dan informasi untuk meningkatkan efisiensi, produktivitas, dan keberlanjutan dalam produksi tanaman dan peternakan. Smart farming menggabungkan berbagai teknologi seperti Internet of Things (IoT), sensor, robotika, dan analitik data untuk memantau dan mengontrol lingkungan pertanian.
Pak Man menyampaikan, petani pasti mempunyai impian memiliki kebun yang canggih, modern, dan smart. Ia menilai, SGH merupakan fasilitas yang menjadi kebutuhan pertanian modern. Ia menjelaskan, dalam suatu rangkaian sistem SGH, dipasang sejumlah sensor untuk memantau suhu, penggunaan air, dan kebutuhan cahaya. Semuanya diatur melalui sensor yang terhubung ke smartphone maupun laptop.
“Jadi, ketika suhu mulai terasa panas, alat penyejuk secara otomatis akan menyala. Atau ketika sensor mendeteksi tanah (media tanam) mulai kering, secara otomatis alat penyiram akan mengeluarkan air dan makanan sesuai takaran secara otomatis,” terangnya menggebu-gebu.
Selain dapat mengatur suhu dan penggunaan air, SGH juga dapat melindungi tanaman dari segala faktor penganggu, seperti hama dari luar, misalnya. Kenapa bisa begitu? Sebab SGH dilengkapi dengan insect net, jaring yang terbuat dari bahan sintetis yang kuat (polyEthilen).
Tak hanya itu, menurut informasi dari Pak Man, SGH juga mengatur intensitas cahaya matahari yang masuk. “Sinar matahari dari pagi sampai pukul 10.00 itu sangat baik buat tanaman. Sedangkan mulai pukul 12.00 hingga 14.00, sinar matahari bersifat membakar. Untuk mengatur itu, ada sensor yang otomatis untuk membuka dan menutup shading guna mengurangi intensitas cahaya matari. Alatnya namanya roof fan shading. Harapannya bisa memberikan hasil produksi lebih optimal,” imbuhnya.
SGH memberikan banyak manfaat bagi pertanian, di antaranya terjadi efisiensi dan mendorong peningkatan hasil produksi sehingga akan turut mendongkrak pendapatan petani.
Menurut Nyoman Mara, melalui teknologi tersebut para petani dapat meningkatkan pendapatan. Selain itu, SGH yang merupakan program dari Ditjen PSP itu juga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terampil dan mandiri di bidang agro teknologi dan agribisnis dengan potensi wisata dan provitas pertanian di daerah tersebut.
Pak Man mengungkapkan, para petani mendapat manfaat yang besar dari SGH di tengah sulitnya mendapatkan SDM pertanian, karena ada kesan bahwa bekerja di sektor pertanian itu tidak menguntungkan. “Nah, dengan model seperti ini, diharapkan pemuda akan bangga menjadi
petani, dia akan bangga menjadi karyawan pertanian karena fasilitas mendukung secara betul-betul smart,” ujarnya.
Menurutnya, teknologi mendorong orang-orang, termasuk kaum muda, untuk tertarik dengan dunia pertanian. Selain itu, teknologi di dunia pertanian juga bisa mengefisiensi tenaga kerja, memaksimalkan hasil, dan dicintai oleh semua level kalangan.
“Harapan kami, selain hasil produksi meningkat, juga sekaligus memikat generasi muda untuk bekerja di pertanian,” tegasnya.