Kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di Kabupaten Buleleng menunjukkan tren penurunan signifikan dalam tiga bulan terakhir. Data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng mencatat, pada Februari 2025 terdapat 314 kasus, turun menjadi 276 kasus pada Maret, dan kembali turun drastis menjadi 160 kasus pada April.
Seijin Plt. Kepala Dinas Kesehatan Buleleng, Plt. Kepala Bidang Pengendalian Penyakit I Gede Artamawan saat dikonfirmasi Rabu (14/5) menegaskan bahwa upaya penanganan DBD tidak bisa hanya mengandalkan fogging atau pengasapan. Fogging hanyalah salah satu bagian dari serangkaian tindakan yang lebih luas dan sistematis.
“Fogging itu tindakan terakhir, bukan satu-satunya solusi. Penanganan DBD harus dimulai dari upaya pencegahan berbasis masyarakat seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS),” jelasnya.
Menurutnya, Dinas Kesehatan Kabupaten Buleleng telah memiliki dua Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengendalian DBD, yaitu SOP Tata Kelola Kasus dan SOP Tata Laksana Fogging. Dalam SOP Tata Kelola, pengelolaan kasus dilakukan secara berjenjang dan terkoordinasi, dimulai dari unit pelapor seperti rumah sakit atau Puskesmas, yang wajib melaporkan kasus DBD maksimal dalam waktu 24 jam melalui sistem daring.
Laporan yang masuk kemudian diverifikasi dan didistribusikan berdasarkan wilayah kerja Puskesmas. Setelah itu, Puskesmas melakukan Penyelidikan Epidemiologi (PE) ke rumah pasien dan 20 rumah di sekitarnya. Bila ditemukan minimal tiga warga yang mengalami demam dan ada satu rumah yang terdapat jentik nyamuk, hasil PE dinyatakan positif.
“Kalau hasil PE positif, baru dilakukan fogging. Tapi sebelum itu, dilakukan terlebih dahulu KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) dan ajakan kepada masyarakat untuk melakukan PSN serentak. Karena jentik harus dibasmi dulu, baru kemudian fogging dilakukan untuk membasmi nyamuk dewasa. Kalau hanya fogging, jentiknya tetap tumbuh jadi nyamuk baru,” terang Artamawan.
Ia juga mengakui bahwa terkadang ada persepsi keliru di masyarakat maupun aparat desa yang hanya fokus pada fogging. Padahal, efektivitas fogging akan rendah bila tidak diawali dengan PSN yang masif dan akan berakibat fatal bagi kesehatan dan juga lingkungan sekitar jika diluar dari SOP Fogging yang sudah ditentukan.
Selain itu, Dinas Kesehatan juga telah menyiapkan tim cadangan beserta alat fogging untuk mendukung Puskesmas jika terjadi kendala teknis di lapangan. Jika hasil PE negatif, tidak dilakukan fogging, namun masyarakat tetap diedukasi untuk menjaga kebersihan lingkungan dan melakukan PSN rutin, minimal seminggu sekali, mengingat siklus hidup nyamuk hanya sekitar 10 hari.
“PSN yang dilakukan sendiri-sendiri tidak akan efektif. Harus serentak agar jentik di semua rumah bisa dibasmi bersama-sama. Itulah kunci pengendalian DBD yang efektif,” pungkasnya.
Dinas Kesehatan Buleleng terus mengimbau masyarakat untuk tidak lengah, meski kasus telah menurun. Keterlibatan aktif masyarakat dalam menjaga kebersihan dan menghilangkan potensi tempat berkembang biaknya nyamuk adalah kunci utama dalam mencegah DBD. (Mdy)