Tari Nyenuk, Filosofi Menjaga Keseimbangan Antara Alam dan Manusia

Admin bulelengkab | 03 Mei 2025 | 66 kali

Tari Nyenuk, mungkin untuk sebagian orang masih sangat jarang mendengar tarian ini. Tarian ini memiliki filosofi menjaga keseimbangan antara alam dan manusia (bhuana agung dan bhuana alit).


Beberapa waktu lalu, Tari Nyenuk ditarikan saat Upacara Padudusan Agung Menawa Ratna di Pura Desa/Bale Agung Desa Adat Sangsit Dauh Yeh yang dilaksanakan setiap 74 tahun sekali.


Bendesa/Kelian Desa Adat Sangsit Dauh Yeh, I Wayan Wisara saat ditemui pada, Jumat, (02/05) menyampaikan, Tarian Nyenuk merupakan tarian sakral yang tidak hanya merefleksikan kehidupan spiritual masyarakat Bali pada umumnya melainkan juga sebagai simbol menjaga keseimbangan dan harmoni bhuana agung dan bhuana alit. 


"Saat piodalan, ngenteg linggih dan padudusan Agung Menawa Ratna, masyarakat berterima kasih atas perlindungan dan berkah yang telah diberikan oleh-Nya. Tarian Nyenuk ditampilkan pada bagian terakhir dari rangkaian ini, yang membawa makna rasa syukur mendalam atas kelancaran seluruh proses keagamaan yang telah dilalui," ucap Wisara.


Dalam iringan Tarian Nyenuk, penari mengenakan pakaian dengan ciri warna yang khas yang memiliki makna simbolik diantaranya, warna merah yang melambangkan keberanian, putih melambangkan kesucian, kuning simbol kebijaksanaan, hitam menandakan kekuatan dan ketenangan serta warna loreng melambangkan keragaman dan keharmonisan.


"Tarian ini juga merupakan salah satu manifestasi Ida Sang Hyang Widhi Wasa pada lima penjuru mata angin. Dewa Siwa sebelah timur berwana putih, sebelah selatan Dewa Brahma berwana merah, Mahadewa berwana kuning sebelah barat, sebelah utara Dewa Wisnu berwana hitam dan tengah merupakan panca datu," jelas Wisara.


Sebelum dipentaskan, penari Nyenuk melakukan tradisi memasar dalam bentuk bale pedanaan yang memiliki arti masyarakat agar memiliki sumbangsih. 


"Proses memasar merupakan proses kehidupan masyarakat di bidang sosial ekonomi dan budaya ketika masyarakat ada di pasar," ujarnya.


Rangkaian Tarian Nyenuk melibatkan berbagai lapisan usia dan status sosial. Masing-masing kelompok memiliki peran tertentu dalam arak-arakan ini, menunjukkan betapa pentingnya peran setiap individu dalam pelestarian tradisi. Kehadiran berbagai generasi turut memperlihatkan bagaimana nilai-nilai budaya diturunkan dari orang tua kepada anak-anak untuk menjaga kesinambungan budaya dan warisan leluhur.


"Selain membawa persembahan berupa hasil bumi, kaum pria dan wanita memiliki tugas khusus dalam upacara ini. Para pria membawa "tegen-tegenan" yang berisi kelapa, tebu, buah-buahan, dan umbi-umbian. Sementara para wanita membawa beras, gula, bunga, dan sesajen. Persembahan ini menjadi wujud syukur yang tulus dari masyarakat atas kelancaran dan berkah dalam kehidupan mereka," tuturnya.


Upacara dilakukan di dalam pura yang dimeriahkan oleh berbagai kesenian tradisional seperti tembang (lagu), gamelan (musik) dan tari. Kehadiran seni dalam upacara Nyenuk bukan hanya mempercantik suasana, tetapi juga menguatkan makna religius upacara ini.


Tidak hanya di dalam pura, tarian ini juga dilakukan sejenis pawai yang berjalan sejauh 1 kilometer. Dimulai dari Pura Desa Sangsit, melewati serta mengelilingi pasar dan kembali ke pura Desa. Seluruh masyarakat berpartisipasi dalam pawai dengan membawa hasil bumi dan makanan tradisional. 


Semua orang, baik tua maupun muda, berkumpul dan bergotong-royong untuk menjaga tradisi, memperlihatkan kearifan lokal yang tetap terjaga di tengah arus modernitas. 


"Upacara ini menjadi cermin dari keindahan budaya Bali. Dimana, kebersamaan dan rasa syukur dijunjung tinggi, membawa pesan bagi generasi mendatang akan pentingnya melestarikan warisan budaya yang penuh makna ini," tutupnya. (Wir)